Beji – suaradepok.com
Pilkada Kota Depok 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November mendatang kini sorotan publik mulai mengarah tajam kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Depok.
Pasalnya, sosialisasi dari KPUD Depok di media massa hampir tidak terlihat. Kondisi tersebut memicu reaksi keras dari kalangan wartawan yang mempertanyakan penggunaan anggaran besar untuk sosialisasi Pilkada yang kabarnya mencapai Rp 73 miliar.
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok, Rusdy Nurdiansyah, dengan tegas mengkritik lemahnya upaya KPUD Depok dalam menggerakkan sosialisasi. Meski KPUD Depok menargetkan partisipasi pemilih naik dari 60% menjadi 80%, upaya sosialisasi yang dilakukan sangat minim, terutama di media lokal yang seharusnya menjadi garda terdepan.
“Sosialisasi Pilkada Depok nyaris tidak terlihat, padahal anggaran yang disiapkan mencapai Rp 74 miliar. Itu uang rakyat, seharusnya dipergunakan dengan maksimal untuk memberikan informasi kepada masyarakat,” ungkap Rusdy di kantor PWI Depok, Jalan Melati, Pancoran Mas, Selasa, 8/10/24.
Bukan hanya itu, Rusdy juga menyoroti adanya dugaan monopoli media yang dilakukan KPUD Depok dalam sosialisasi Pilkada. Rusdy menegaskan bahwa KPUD hanya bekerja sama dengan satu media tertentu, mengabaikan media lainnya. Padahal, lanjut Rusdy, keberagaman media sangat penting agar informasi Pilkada bisa tersebar luas dan merata.
“Sosialisasi tidak bisa hanya mengandalkan satu media saja, apalagi kalau media itu punya afiliasi politik. Itu sudah melanggar prinsip netralitas KPU. Semua media harus mendapatkan bagian anggaran sosialisasi secara merata,” tegasnya.
Meski begitu, jika terbukti ada monopoli media atau penyalahgunaan anggaran, KPUD Depok bisa terjerat tindak pidana. Ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga menyangkut integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu.
Rusdy juga mennyayangkan kurangnya kolaborasi antara KPUD Depok dengan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kota Depok. Ia menyebut bahwa sosialisasi Pilkada bukan hanya melalui media massa, tapi juga melalui baliho, banner, dan media luar ruang lainnya. Sayangnya, tanda-tanda sosialisasi dari KPU tidak tampak di jalan-jalan utama Kota Depok.
“Seharusnya KPU dan Diskominfo bekerja sama untuk memperluas jangkauan sosialisasi. Tapi yang terlihat sekarang hanya poster-poster calon, bukan informasi dari KPU terkait Pilkada,” ujar Rusdy.
Lebih jauh, Rusdy juga menyoroti proses lelang e-katalog yang digunakan KPU dalam memilih media untuk bekerja sama. Menurutnya, proses ini tidak transparan dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
“Lelang e-katalog harus dilakukan secara terbuka. Semua media lokal di Depok berhak mendapatkan kesempatan yang sama,” ungkapnya.
Rusdy memperingatkan bahwa jika ada media yang dipilih oleh KPU namun memiliki afiliasi dengan salah satu pasangan calon, hal ini dapat memicu pelanggaran netralitas KPU. Hal tersebut akan merusak integritas dan independensi penyelenggara pemilu.
Dalam pandangan Rusdy, distribusi anggaran sosialisasi harus dilakukan dengan jelas dan adil. Baik media nasional, regional, maupun lokal, serta media cetak, elektronik, dan online, semua harus mendapatkan alokasi yang seimbang. Selain itu, media luar ruang seperti billboard dan banner juga perlu dimanfaatkan lebih maksimal.
“Sosialisasi yang efektif tidak bisa hanya mengandalkan satu kanal informasi. Semua media harus dilibatkan, mulai dari cetak, online, sampai luar ruang. Sosialisasi juga bukan cuma sekadar acara formal di hotel, tapi harus menyentuh masyarakat secara langsung,” tegasnya.
Kritik tajam dari PWI Kota Depok ini seharusnya menjadi peringatan bagi KPU untuk segera mengambil langkah perbaikan. Dengan waktu yang semakin mendekati hari pemungutan suara, partisipasi masyarakat harus ditingkatkan melalui sosialisasi yang merata, transparan, dan efektif. Anggaran Rp 73 miliar yang sudah dialokasikan harus digunakan dengan bijak dan sesuai peruntukan. (Guntur)