Oleh: Guntur Bulan
DEPOK | suaradepok.com | Badan Kehormatan (BK) DPRD Depok memegang peranan vital dalam menjaga etika dan integritas para anggota dewan. Konsistensi dan keadilan dalam penegakan kode etik oleh BK menjadi fondasi utama kepercayaan publik terhadap lembaga DPRD. Namun, sorotan tajam kini tertuju pada BK DPRD Depok terkait dugaan ketidakobjektifan dalam menangani sejumlah kasus.
Kasus RK vs. Kasus TR: Perbedaan Perlakuan yang Mencurigakan
Perhatian publik tertuju pada perbedaan signifikan dalam penanganan dua kasus yang melibatkan anggota DPRD Depok. Kasus RK, yang terjerat kasus pencabulan, mendapatkan respons yang terkesan lambat dan minim komentar dari BK DPRD Depok. Padahal, kasus ini jelas-jelas mencoreng nama baik lembaga DPRD. RK bahkan telah divonis 10 tahun penjara dan denda 300 juta rupiah, meskipun saat ini tengah mengajukan banding.
Di sisi lain, kasus TR yang diduga melakukan jual beli proyek Pokir justru mendapatkan perhatian yang lebih besar dari BK DPRD Depok. Ironisnya, praktik Pokir merupakan isu yang umum dan berpotensi melibatkan banyak anggota dewan lainnya.
Kejanggalan dalam Proses Penjatuhan Sanksi terhadap TR
Ketidaktransparanan proses penjatuhan sanksi terhadap TR semakin memperkuat dugaan adanya ketidakberesan. Turiman, anggota BK DPRD Depok, bahkan telah mengumumkan sanksi yang dikenakan kepada TR sebelum adanya Surat Keputusan (SK) resmi dari BK. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai independensi dan profesionalitas BK dalam menjalankan tugasnya.
Penonaktifan TR dari Fraksi PKB: Tanpa Klarifikasi dan Melalui Prosedur yang Janggal
Situasi semakin rumit dengan langkah Ketua Fraksi PKB Depok, Siswanto, yang menonaktifkan TR dari Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dan Komisi B DPRD Depok. TR merasa bahwa penonaktifan ini dilakukan tanpa melalui rapat internal fraksi dan tanpa memberikan penjelasan yang memadai. Alih-alih mendapatkan dukungan, TR justru langsung dinonaktifkan.
TR kemudian melayangkan surat keberatan kepada BK DPRD Depok, meminta kejelasan terkait sanksi yang diterimanya. Siswanto merasa tersinggung dengan tindakan TR dan mengklaim bahwa penonaktifan tersebut telah sesuai dengan mekanisme partai. Namun, TR menegaskan bahwa ia tidak pernah dipanggil oleh fraksi untuk membahas masalah ini.
Pertanyaan Besar untuk BK DPRD Depok
Rentetan peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai objektivitas, transparansi, dan profesionalitas BK DPRD Depok. Publik menanti penjelasan yang komprehensif dan tindakan nyata dari BK untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar menjunjung tinggi etika dan integritas dalam menjalankan tugasnya.
Kepercayaan publik terhadap lembaga DPRD Depok berada di ujung tanduk, dan BK DPRD Depok memiliki tanggung jawab besar untuk memulihkannya. (***)


 
                                    








