Depok – suaradepok.com
Anggota Legislatif DPRD Kota Depok dari Fraksi PKS, Ade Firmansyah peringatkan potensi masalah terkait Mandatory Spending Dana Rp300juta per RW dalam Panduan Musrenbang RKPD Depok 2026
Sebagaimana diketahui secara luas, di antara program populis Walikota Wakil Walikota terpilih, SS – Chandra dalam Pilkada Kota Depok tahun 2024 lalu, adalah janji kampanye berupa alokasi “Dana RW sebesar Rp300 juta per tahun”.
Meski Walikota dan Wakil Walikota Depok terpilih belum dilantik, Bappeda dan Sekda kota Depok telah membuat Juklak Juknis terkait alokasi Dana Rp300juta per RW tersebut, dalam Panduan Musrenbang 2026 yang mulai diselenggarakan pada bulan Januari 2025 ini. Lengkap dengan Mandatory Spending Dana Rp300juta per RW tersebut, untuk Operasional Posyandu Rp 6 juta dan Wisata Keberagaman Rp 25 juta.
Anggota Legislatif Fraksi PKS, Ade Firmansyah memandang bahwa alokasi Dana Rp300 juta per RW per tahun ini berpotensi menimbulkan sejumlah masalah dalam implementasinya. untuk itu disarankan agar tidak tergesa-gesa dilaksanakan, sebelum dilakukan kajian mendalam dan komprehensif, terkait aspek Hukum, Ketentuan Administrasi dan Dampak Sosiologis, atas program Alokasi Dana Rp300juta Per RW per tahun tersebut. kata Ade, Selasa (21/01/25)
“Jangan sampai anggaran berbasis RW ini menimbulkan ragam masalah di kemudian hari. mulai dari mekanisme penganggaran, pertanggung jawaban admistratif, hingga persoalan kesenjangan antar RW yang berbeda jumlah penduduk yang memicu pemekaran RW dan pembengkakan alokasi belanja APBD untuk memenuhi alokasi Dana Rp 300 juta per RW in”, ungkap Ade.
Dalam mekanisme penganggaran menurut Ade Firmansyah, penting nya ditentukan dasar hukum yang digunakan sebagai landasan legal atas penganggaran kegiatan, baik itu Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), Peraturan Daerah (Perda) dan ketentuan lainnya. Termasuk Dokumen Perencanaan Daerah atau RPJMD berupa Perda yang akan dijadikan acuan. Sementara saat ini Walikota terpilih belum dilantik.
“Penetapan mata anggaran dalam APBD juga harus melalui persetujuan DPRD. Ini diatur dengan jelas dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri terkait APBD. Sementara itu, Panduan Musrenbang yang berisi Juklak Juknis Alokasi Dana Rp 300 juta per RW sudah disosialisasikan Bappeda, padahal belum melalui pembahasan dengan Badan Anggaran DPRD. Secara prosedural, ini menyalahi ketentuan dan etika pemerintahan” Jelas Ade
Pertanggungjawaban administratif alokasi Dana Rp 300 juta per RW ini juga belum ada penjelasan lebih lanjut terkait siapa Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) nya, sebagaimana diatur dalam PP 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Apakah RW bisa menjadi KPA, atau penerima hibah bansos. Apakah KPA nya Lurah dan atau Camat, lalu bagaimana pertanggungjawaban administratif atas pelaksanaan kegiatannya.
“Apakah dikerjakan oleh tiap RW atau oleh staf Kelurahan dan Kecamatan tanpa kejelasan tata administrasi, alokasi anggaran berpotensi fraud (penyalahgunaan dana secara tidak bertanggung jawab)”. Kata Ade.
Sementara itu, Lanjut Ade Firmansyah, perbedaan kondisi demografi penduduk di tiap RW juga berpotensi mengundang masalah lain. Antara RW berpenduduk sedikit (hanya satu dua RT, puluhan KK, ratusan warga) dengan RW padat penduduk (dengan jumlah RT yang banyak, ratusan hingga ribuan KK, dan puluhan ribu penduduk), bisa mengundang kecemburuan akibat ketimpangan alokasi anggaran dan memicu pemekaran RW secara massive. Ini berpotensi kerawanan sosial dan pembengkakan anggaran dana Rp300juta per RW.
“Tanpa kajian yang mendalam dan komprehensif, serta pelanggaran prosedural di sana sini, dikuatirkan progam ini akan menjadi bom waktu masalah di belakang hari”.
untuk itu disarankan agar lebih berhati-hati, lakukan kajian terlebih dahulu, dan ikuti ketentuan hukum dan perundangan, serta prosedur yang benar demikian jelas Ade Firmansyah, Anggota Banggar dari Fraksi PKS. (Wahyu gondrong)